The Marvellous World of Belahan Jiwa

Selasa, 23 September 2008




01. Seorang muslim

Allah berfirman dalam beberapa ayat berikut:

“…Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman”
(Q.S. An-Nisaa’ : 141)

“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui keimanan mereka. Jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman, janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-oarang kafir itu; dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka…”
(Q.S.Al-Mumtahanah : 10)

“…Mereka tiada henti-hentinya memerangi kamu sampaimereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran) seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad diantara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat; dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”
(Q.S. Al-Baqarah : 217)

“…Janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mu’min) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik daripada orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke syurga dan ampunan dengan izin-Nya…”
(Q.S. Al-Baqarah : 221)

Penjelasan:
Menurut ahli Tafsir, ayat pertama dinyatakan sebagai suatu ketentuan melarang orang Islam mengangkat orang kafir menjadi pemimpinnya atau penguasanya. Termasuk dalam pengertian mengangkat orang kafir sebagai pemimpin atau penguasa adalah menjadikan laki-laki non-muslim sebagai suami bagi wanita muslim, karena suami memiliki kekuasaan terhadap istrinya.

Ayat kedua menerangkan bahwa kaum muslimin dilarang menyerahkan wanita muslim kepada laki-laki kafir, termasuk mengawinkan wanita muslim dengan laki-laki non-muslim.

Ayat ketiga menjelaskan bahwa orang-orang kafir baik yang beragama Yahudi, Nasrani, maupun yang lain, selalu berusaha untuk menghancurkan agama Islam dan mengembalikan orang-orang yang beragama Islam kepada kekafiran. Oleh karena itu, untuk mencegah agar wanita-wanita muslim tidak menjadi sasaran usaha pemurtadan oleh orang-orang non-muslim, kaum muslimin dilarang mengawinkan wanita-wanita muslim dengan laki-laki kafir, apapun agamanya.

Ayat keempat melarang kaum muslimin umumnya, dan wali atau orang tua dari perempuan-perempuan muslim khususnya, untuk mengawinkan para perempuan ini dengan laki-laki musyrik atau kafir.

Ketentuan-ketentuan di atas dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada kaum perempuan muslim. Hal ini bisa terjadi sebab suami oleh Islam ditempatkan sebagai pemimpin dan penguasa dalam rumah tangga yang harus ditaati oleh istri. Karena kekuasaan dan wewenang untuk memimpin keluarga diberikan kepada suami, Islam menegaskan adanya larangan bagi kaum muslimin untuk mengawinkan perempuan-perempuan mereka dengan laki-laki non-muslim atau kafir.

Wanita muslim yang kawin dengan lelaki non-muslim, berarti telah melakukan yang haram. Dikatakan demikian sebab wanita muslim hanya dihalalkan bersuamikan seorang laki-laki muslim. Wanita muslim yang melanggar ketentuan ini berarti telah melakukan perkawinan yang tidak sah walaupun menurut hukum negara perkawinannya sah. Hubungan seksual dilakukan dinilai sebagai perbuatan zina. Oleh karena itu, anak yag dilahirkan dari perkawinan semacam ini adalah anak zina.

02. Taat Beragama dan Baik Akhlaqnya

Disebutkan dalam Hadits sebagai berikut:

“Bila datang seorang laki-laki yang kamu ridhai agama dan akhlaqnya, hendaklah kamu nikahkan dia, karena kalo engkau tidak mau menikahkannya, niscaya akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang meluas.”
(H.R. Tirmidzi dan Ahmad)

Penjelasan:
Hadits di atas memerintahkan kepada seluruh kaum muslimin, khususnya para orang tua atau wali, untuk benar-benar memperhatikan ketaatan beragama dan akhlaq laki-laki yang akan menjadi suami dari anak atau perempuan di bawah perwaliannya. bila ada laki-laki yang taat beragama dan baik akhlaqnya namun tidak mampu membiayai diri untuk kawin, masyarakat muslim diharuskan memberikan pertolongan kepada yang bersangkutan agar dapat menikah dengan baik.

Ada orang yang beranggapan bahwa kualitas ketaatan calon suami pada agama tidaklah penting, karena hal tersebut bisa diperbaiki dan ditingkatkan secara bertahap setelah yang bersangkutan sah menjadi suami. Dalam perjalanan rumah tangga nanti istri berusaha untuk memperbaiki, membina dan meningkatkan keagamaan suami agar menjadi seorang yang shalih.

Hal semacam ini mungkin bisa berhasil, tetapi kemungkinan gagal lebih besar. Artinya, muslimah yang beranggapan akan bisa memperbaiki ketaatan beragama calon suami sesudah menjadi suaminya, perlu mengetahui bahwa merubah orang yang kurang baik menjadi baik bukan suatu pekerjaan yang mudah. Siapakah yang berani menjamin bahwa laki-laki semacam itu kelak dengan mudah menjadi laki-laki yang shalih sehingga memenuhi kriteria suami yang taat pada agama?

03. Menjauhi Kemaksiatan

Allah berfirman dalam QS At-Tahiriim Ayat 6 :

“Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah atas perintah Allah kepada mereka dan selalu taat pada apa yang diperintahkan.”


Disebutkan juga dalam hadits berikut :

“Tiga golongan yang Allah haramkan masuk syurga yaitu : peminum minuman keras, orang yang durhaka terhadap ibu bapaknya, dan orang yang berbuat dayyuts yang menanamkan perbutan dosa kepada keluarganya.”
(H.R. Nasa’i)

Penjelasan :

Menjauhi kemaksiatan ialah menjauhi perbuatan yang diharamkan oleh agama, terutama yang tergolong dosa besar, seperti syirik, berjudi, berzina, mabuk, mencuri dan lain-lainnya.

Ayat di atas menegaskan bahwa kepala keluarga bertanggung jawab untuk menjauhkan anggota keluarganya dari segala macam dosa. Kepala keluarga yang membiarkan keluarganya berbuat dosa, apalagi memberi contoh melakukan perbuatan-perbuatan dosa, berarti menyiapkan diri masuk ke dalam neraka. Hal semacam ini dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.

Karena para suami dinyatakan sebagai orang yang paling bertanggung jawab untuk membersihkan anggota keluarganya dari perbuatan maksiat, dengan sendirinya dia harus dapat dijadikan contoh sebagai orang yang bersih dari perbuatan maksiat.Syarat seorang calon suami harus menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan maksiat adalah suatu hal yang mutlak menurut ketentuan agama. Oleh karena itu, para perempuan muslim wajib dengan seksama dan teliti menyelidiki laki-laki calon suaminya apakah ia seorang yang bersih dari perbuatan-perbuatan maksiat atau sebaliknya.

04. Kuat Semangat Jihadnya

Allah berfirman dalam surat Q.S. Ath-Thuur ayat 21 :

“Orang-orang yang beriman dan yang anak cucu mereka mengikuti mereka dalam keimanan, Kami hubungkan anak cucu mereka dengan mereka, dan Kami tiada mengurangi sedikitpun dari pahala amal mereka. Tiap-tiap manusia terikat dengan apa yang dikerjakannya.”

Penjelasan :

Maksud jihad di sini ialah kesungguhan untuk membentengi dan membela kepentingan Islam dari rongrongan musuh-musuhnya, baik musuh yang sudah ada sekarang maupun yang akan datang.

Ayat di atas menerangkan bahwa bila orang tua mengutamakan kehidupan agama dan memperjuangkan dengan gigih sehingga perilakunya benar-benar berdasarkan pada tuntunan agama Allah, yang bersangkutan pasti akan mendidik anak-anaknya hidup semacam itu. Orang-orang ini kelak akan Allah pertemukan menjadi satu keluarga di dalam syurga.

Tindakan peduli dengan jihad antara lain menyampaikan dakwah kepada non-muslim dengan tulisan atau lisan, mengajarkan Islam kepada kaum muslimin agar lebih menguasai agamanya, menentang rongrongan musuh terhadap Islam, baik melalui tulisan, lisan maupun fisik.

Seseorang yang tidak peduli dengan jihad boleh jadi tetap melakukan sholat. Akan tetapi, ia melakukannya hanya sebagai kebiasaan yang tertanam sejak kecil di lingkungan keluarganya, bukan sebagai tanggung jawabnya kepada Allah dan kesungguhannya untuk menegakkan syiar Islam.

05. Dari Keluarga Yang Shalih

Disebutkan dalam Hadits berikut :

Dari Rifa’ah bin Rafi’, sesungguhnya Nabi SAW bersabda kepada ‘Umar RA : “Kumpulkan kaummu kepadaku”, lalu ia kumpulkan mereka. Setelah mereka tiba di depan pintu Nabi SAW, ‘Umar masuk kepada beliau, lalu ujarnya: “Kaumku sudah kukumpulkan kepada Tuan”. Orang-orang Anshar mendengar kejadian ini, lalu mereka berkata: “Wahyu telah turun tentang Quraisy”. Sesaat kemudian datanglah orang-orang yang mendengar dan menyaksikan apa yang diucapkan kepada mereka, lalu Nabi SAW keluar kepada mereka seraya sabdanya: “Apakah ada orang lain di tengah kalian?” Mereka menyahut: “Ada, di tengah kami ada teman-teman setia kamu, keponakan-keponakan kami, dan maula-maula (keluarga dekat) kami”. Nabis SAW bersabda: “Teman-teman setia kita, keponakan-keponakan kita, dan maula-maula kita adalah bagian dari kita sendiri. Harap kalian dengarkan bahwa orang-orang yang menjadi teman-teman dekatku diantara kalian adalah orang-orang bertaqwa; jika kalian seperti mereka, kalian termasuk golongan tersebut; jika tidak, kalian harus pikirkan, sebab pada hari qiamat kelak orang lain akan datang kepadaku dengan membawa amal-amal mereka, tetapi kalian datang dengan membawa bekal lain, lalu kalian ditolak…”
(H.R. Bukhari, Hadits Hasan)

Penjelasan :

Hadits di atas menyebutkan bahwa Nabi SAW tidak berani menjamin seseorang masuk syurga hanya karena ikatan keluarga dengan Nabi. Beliau menjelaskan bahwa yang bisa menjamin seseorang masuk syurga adalah amal shalih yang dilakukan karena Allah. Oleh karena itu, beliau memerintahkan kepada keluarganya untuk beramal shalih dan tidak membanggakan diri karena ikatan keluarganya dengan Rasulullah.

Keluarga yang shalih akan selalu berusaha melakukan segala sesuatu dengan baik sehingga membawa kebaikan bagi dirinya dan orang lain. Mereka tidak akan pernah mau sedikit merugikan hak orang lain, apalagi dengan sengaja menjerumuskan orang ke dalam kesulitan dan penderitaan. Mereka selalu takut kepada Allah sehingga berusaha menjauhkan segala macam tindakan dan sifat yang buruk, baik menguntungkan dirinya maupun merugikan.

Para perempuan muslim tentu sangat mendambakan suaminya benar-benar berasal dari keluarga yang shalih. Dengan laki-laki semacam ini ia akan terpelihara dari segala macam perbuatan yang dimurkai oleh Allah karena suami memimpinnya ke jalan yang diridlai oleh-Nya.

06. Taat Kepada Orang Tuanya

Disebutkan dalam Hadits berikut:

Dari Mu’awiyah bin Jahimah, sesungguhnya Jahimah berkata: “Saya datang kepada Nabi SAW, untuk minta izin kepada beliau guna pergi berjihad, namun Nabi SAW bertanya: “Apakah kamu masih punya ibu bapak (yang tidak bisa mengurus dirinya)?”. Saya menjawab: “Masih”. Beliau bersabda: “Uruslah mereka, karena syurga ada di bawah telapak kaki mereka”.”
(H.R. Thabarani, Hadits hasan)

Disebutkan pula dalam Hadits berikut:

Dari Ibnu ‘Umar RA ujarnya: “Rasulullah SAW bersabda: “Berbaktilah kepada orang tua kalian, niscaya kelak anak-anak kalian berbakti kepada kalian; dan peliharalah kehormatan (istri-istri orang), niscaya kehormatan istri-istri kalian terpelihara”.”
(H.R. Thabarani, Hadits hasan)

Penjelasan :

Anak yang taat kepada orangtua yaitu anak yang mematuhi perintah orang tua dan tidak melanggar larangannya selama hal yang diperintahkan atau yang dilarangnya sesuai dengan syari’at Islam. Anak semacam ini mendapat jaminan memperoleh keselamatan dan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

Hadits pertama menjelaskan bahwa mengurus kepentingan orang tua yang telah lanjut usia atau sedang sakit lebih utama daripada pergi berperang melawan musuh-musuh agama.

Ketaatan anak kepada orang tua dalam rangka menjalankan perintah agama menjadikan mereka ridla. Keridlaan ibu dan bapak kepada anaknya dapat mengantarkan anaknya masuk syurga kelak di akhirat. Hal ini membuktikan bahwa ketaatan anak kepada orang tua atau ibu bapak merupakan kunci pokok bagi keselamatan anak dalam kehidupannya di dunia dan di akhirat. Anak yang taat kepada orang tua dapat diharapkan akan bisa memimpin keluarganya ke jalan yang diridlai oleh Allah.

Hadits kedua menerangkan bahwa seorang anak yang berbakti kepada ibu bapaknya kelak menjadi orang tua yang ditaati oleh anak-anaknya karena dia telah memberi teladan kepada anak-anaknya secara konkret dalam berbakti kepada orang tua. Keteladanannya sangat berpengaruh pada anak anaknya. Sekalipun anak-anaknya tidak menyaksikan secara langsung ayah dan ibunya taat kepada orang tuanya, perilaku dan tutur katanya yang baik selalu menjadi kepribadian mereka. Anak dapat merasakan pancaran batin dari orang tua yang taat kepada orang tuanya secara psikologis, kemudian mendorong mereka untuk taat kepada orang tuanya juga. Rahasia psikologis semacam ini diungkapkan oleh Rasulullah SAW dalam hadits di atas sebagai bukti bahwa pengaruh perbuatan shalih seorang anak terhadap orang tuanya akan dapat berpancar pula pada anaknya kelak.

07. Mandiri dalam Ekonomi

Rasulullah SAW bersabda :

“Hai golongan pemuda, barangsiapa di antara kamu ada yang mampu (untuk membelanjai) kawin, hendaklah ia kawin, karena kawin itu akan lebih menjaga pandangan dan akan lebih memelihara kemaluan, dan barangsiapa belum mampu kawin, hendaklah ia berpuasa, karena puasa itu ibarat pengebiri”
(H.R. Ahmad, Bukhari dan Muslim)

Penjelasan :

Dalam Hadits di atas Rasulullah SAW berseru kepada para pemuda yang telah mampu mencari nafkah sendiri sehingga sanggup memikul beban belanja perkawinan dan berumah tangga, agar segera kawin.

Kita semua menyadari bahwa hidup berumah tangga mengharuskan adanya pembiayaan. Siapakah yang wajib memikul tanggung jawab ini? Islam menetapkan bahwa yang bertanggung jawab dalam masalah ini adalah suami. Oleh karena itu, mereka yang dibenarkan untuk segera kawin atau berumah tangga adalah yang mandiri membiayai keperluan hidup dirinya dan keluarganya.

Para perempuan yang hendak berumah tangga, boleh saja menerima laki-laki yang masih menganggur atau berpenghasilan tidak cukup untuk hidup berumah tangga. Menurut syari’at Islam, perkawinannya tetap sah. Akan tetapi, perbuatan semacam ini jelas bertentangan dengan seruan Rasulullah SAW di atas. Maksudnya, dari sisi tanggung jawab membina rumah tangga pemilihan suami pengangguran merupakan suatu tindakan yang tercela walaupun tidak haram.

Ada kalaya seorang muslimah rela tidak dibelanjai oleh suaminya, bahkan bersedia membantu kehidupan suami. Hal semacam ini adalah amal baik istri kepada suami. Oleh karena itu, selama seorang muslimah rela bersuamikan seorang laki-laki miskin sedang dia bermaksud memelihara agama dan kehormatan suaminya, langkahnya dinilai sebagai suatu amal shalih yang sangat terpuji.

08. Kualitas Dirinya Setaraf atau Lebih Baik

Disebutkan dalm Hadits berikut :

“Manusia itu ibarat barang tambang, ada yang emas dan ada yang perak. Mereka yang terbaik pada zaman Jahiliyah, tetap terbaik pula pada zaman Islam, asalkan mereka memahami agama.”
(H.R. Bukhari)

Penjelasan :

Hadits di atas menerangkan bahwa kualitas manusia berbeda-beda sebagaimana kualitas barang tambang; ada emas, perak, perunggu dan lainnya. Kualitas orang dinilai baik bilamana ia mendapatkan pendidikan dan pembinaan yang baik, terutama sekali pendidikan dan pembinaan agama sebagaimana yang diajarkan oleh Islam.

Kualitas yang dituntut oleh Islam bukanlah kualitas materiil, melainkan kualitas keagamaan mencakup pengetahuan, intelektual, mental, emosi, ketaatan serta kesungguhan dan keteguhan berpegang pada ajaran Allah dan Rasul-Nya.

Pengetahuan agama yaitu pengetahuan tentang Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW sebagai sumber ajaran Islam.
Intelektual yaitu kemampuan untuk menggunakan akal secara jernih untuk memecahkan kesulitan.
Mental yaitu pikiran dan sikap yang baik sehingga tahu bagaimana seseorang harus berlaku baik kepada orang lain sesuai tuntunan Islam dan mempertanggungjawabkan apa yang dilakukannya.
Emosi yaitu kemampuan untuk bersikap tenang dan mengendalikan perasaan sehingga tidak dikuasai oleh perasaan permusuhan, kebencian, atau marah dalam menghadapi hal-hal yang tidak diinginkan.
Ketaatan yaitu kesungguhan secara ikhlas mengikuti aturan-aturan agama dan aturan lain yang tidak menyalahi agama.
Kesungguhan dan keteguhan adalah kemantapan berpegang pada aturan agama walaupun menghadapi berbagai macam rintangan.

Dengan mengetahui kualitas calon suami, perempuan yang akan menjadi istrinya akan dapat mengukur apakah yang bersangkutan setaraf dengan dirinya atau tidak. Pasangan suami istri yang memiliki kualitas pribadi yang setaraf akan bisa menciptakan pergaulan yang baik sehingga tidak akan terjadi kesenjangan pikiran.
Akan tetapi, jika kualitas suami lebih rendah, hendaklah mereka mempertimbangkan penerimaanya sebagai suami. Hal ini perlu dilakukan sebab dengan kualitas suami yang lebih rendah besar kemungkinan akan timbul banyak permasalahan dalam membina rumah tangga kelak.

09. Dapat Memimpin

Allah berfirman dalam Q.S. An-Nisaa’ ayat 34 :

“Laki-laki adalah pemimpin kaum wanita, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian lainnya dan karena mereka telah membelanjakan sebagian harta mereka…”

Penjelasan :

Ayat di atas menerangkan bahwa laki-laki diberi kodrat memimpin oleh Allah. Kodrat yang Allah berikan ini merupakan kelebihan laki-laki dari perempuan. Oleh karena itu, sudah menjadi ketetapan Allah bahwa orang yang bertanggung jawab memimpin di dalam rumah tangga adalah suami. Selain itu, para suami diwajibkan memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya. Adanya kodrat dan kewajiban semacam ini berarti menuntut adanya kemampuan pihak laki-laki untuk memimpin istri dan anggota keluarganya dalam kehidupan sehari-hari.

Fungsi suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga adalah meluruskan kesalahan istri, meninggatkan ketaqwaan istri, memperluas pengetahuan dan pemahaman istri mengenai tanggung jawabnya terhadap suami dan keluarga, menolong istri memecahkan kesulitan yang dihadapi dan mendorong istri untuk meningkatkan kemampuan intelektual dan mentalnya dalam menghadapi kehidupan sehari-hari terutama dalam mendidik anak-anak.

Kebutuhan seorang istri terhadap kepemimpinan suami merupakan hal yang fitrah. Setiap istri mendambakan suaminya menjadi tempat menanyakan pemecahan segala masalah yang dihadapi keluarga. Oleh karena itu, suami dituntut untuk menunjukkan sikap kepemimpinan yang bijak.

Perempuan juga menginginkan agar kelak suaminya bisa memimpin dan menjadi imam dalam sholat berjama’ah bilamana mereka berada di rumah dan telah tiba waktu sholat. Hal semacam ini akan menambah kebanggaan istri terhadap suami.

10. Bertanggung jawab

Allah berfirman dalam Q.S. Al-Qashash ayat 26:

“Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: ‘Ya bapakku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.’”

Penjelasan :

Tanggung jawab yaitu sikap berani memikul akibat bila sesuatu yang dibebankan kepadanya tidak sesuai dengan ketentuan atau berani diperkarakan bilamana melakukan kesalahan atas perbuatan-perbuatan yang dilakukannya. Seorang suami mempunyai beban dan kewajiban terhadap istrinya. Beban dan kewajiban tersebut harus dilaksanakan dengan baik, dan akan menerima sanksi bila tidak dilaksanakan dengan baik.

Ayat di atas adalah kisah antara putri Nabi Syu’aib AS dengan Musa AS. Putri Nabi Syu’aib AS mengajukan permintaan kepada ayahandanya agar mengambil orang bertanggung jawab dalam membantu usahanya. Ia mengusulkan hal semacam itu karena mempunyai kepentingan terhadap laki-laki yang akan diambil oleh ayahandanya sebagai pembantu bahwa yang bersangkutan kelak akn menjadi suaminya. Pandangan putri Nabi Syu’aib AS ini dikisahkan dalam Al-Qur’an untuk menjadi cermin bagi kaum wanita muslim dalam memilih calon suami.

Penuturan yang sangat halus pada ayat ini memberikan gambaran kepada kita adanya fitrah yang tertanam pada wanita yang berpikiran dan bermental sehat bahwa mereka menghendaki suaminya benar-benar memiliki sifat tanggung jawab. Tanggung jawab ini meliputi bidang agama, psikis dan fisik.

Tanggung jawab semacam ini merupakan beban yang dipikulkan pada semua suami sejak adanya syari’at berkeluarga sampai hari kemudian kelak. Tanggung jawab ini tidak akan pernah berubah karena sudah merupakan ketentuan Allah yang berlaku secara universal.

11. Bersifat Adil

Disebutkan dalam Hadits berikut :

Dari Nu’man bin Basyir ra, bahwa ayahnya membawanya kepada Rasulullah saw, lalu ia bercerita kepada beliau: “Aku berikan kepada anakku ini salah seorang budakku untuk dijadikan pelayannya.” Rasulullah saw bertanya: “Apakah semua anakmu engkau beri semacam ini?” Jawabnya: “Tidak.” Rasulullah saw bersabda: “Kalau begitu batalkanlah.” Dalam riwayat lain disebutkan: Rasulullah saw bertanya: “Apakah terhadap semua anakmu kamu berlaku seperti ini?” Jawabnya: “Tidak.” Beliau bersabda: “Takutlah pada Allah; dan berlaku adillah kepada anak-anakmu!” Ayahku lalu membatalkannya dan dia menarik kembali sedekahnya….
(H.R. Bukhari dan Muslim)

Penjelasan :

Kata adil berasal dari bahasa Arab yang artinya tidak melanggar hak, menempatkan sesuatu pada tempatnya, lurus dan benar. Adil mencakup tindakan dan sifat. Tindakan adil yaitu tindakan tanpa merugikan orang lain, sedangkan sifat adil adalah lurus dalam berbuat dan berfikir serta pandai mempergunakan sesuatu sesuai dengan fungsi dan kegunaannya.

Dalam hadits di atas disebutkan adanya kasus orang tua yang ingin memberikan hadiah kepada salah seorang anaknya tanpa memberikan hadiah yang sama atau senilai kepada anak-anak lainnya. Perbuatan yang dilakukan Basyir di atas dilarang oleh Rasulullah saw sebab hal itu sama dengan memperlakukan anak-anaknya secara tidak adil dalam memberikan hadiah. Dengan tindakan semacam itu hak anak-anak lainnya menjadi dirugikan.

Pentingnya kita mempunyai pasangan yang memiliki sifat adil ialah untuk menciptakan kehidupan rumah tangga yang harmonis. Orang yang bersifat adil tidak akan mengurangi hak orang lain dan tidak suka berbuat dzalim kepada orang lain. Suami dan istri yang selalu menjaga hak masing-masing akan dapat terhindar dari rasa saling membenci dan mendendam.

12. Berperilaku Halus

Disebutkan dalam Hadits-Hadits berikut:

Dari Abu Huraihah ra,ujarnya: Rasulullah saw bersabda: “Nasihatilah para wanita itu baik-baik, karena wanita itu diciptakan dari tulang rusuk; dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah yang teratas. Jika engkau berlaku keras dalam meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Akan tetapi, jika engakau biarkan dia, tentu akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berikanlah nasihat baik-baik kepada para wanita.”
(H.R. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah saw bersabda:

“Orang mu’mim yang paling baik imannya yaitu yang paling baik akhlaqnya; dan orang yang paling baik di antara kamu yaitu orang yang sangat baik kepada istrinya.”
(H.R. Bukhari)

Penjelasan:

Perilaku halus dan mulia ialah perilaku yang tidak menyakitkan hati orang lain. Perilaku ini bisa tercermin pada ucapan dan perbuatan. Kalau ada seseorang yang berbicara dengan kata-kata yang halus tetapi isinya menyakitkan hati yang mendengarkan, orang semacam itu berperilaku kasar kepada orang lain.

Adapun perilaku kasar adalah perilaku yang menyakitkan orang lain, baik secara fisik maupun secara mental. Memukul, misalnya, secara fisik menimbulkan rasa sakit pada yang dipukul. Membentak atau memarahi secara semena-mena juga akan menimbulkan rasa sakit pada perasaan yang dimarahi.

Hadits pertama memerintahkan kepada para suami untuk tidak berbuat kasar dalam meluruskan kesalahan-kesalahan istrinya. Para suami hendaknya membetulkan kekeliruan istrinya dengan cara-cara yang halus dan baik.

Hadits kedua memuji suami yang memperlakukan istrinya dengan baik dan mulia. Oleh karena itu, Rasulullah saw sendiri memberi contoh bagaimana beliau memperlakukan istri-istrinya dengan lembut dan ramah.

13. Tidak Kikir

Disebutkan dalam Hadits berikut:

Dari ‘Aisyah, ujarnya: Susungguhnya Hindun datang kepada Nabi saw, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, Abu Sufyan adalah orang yang kikir dan tidak mau memberikan belanja yang cukup untukku dan anakku sehingga terpaksa aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya.” Beliau bersabda: “Ambillah sekedar cukup untuk dirimu dan anakmu dengan wajar!”
(H.R. Bukhari, Muslim, Ahmad, Nasa’i, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)

Penjelasan :

Kikir menurut agama, yaitu tidak mau membelanjakan hartanya untuk kebaikan, seperti menolong orang miskin, membantu kerabatnya yang kekurangan, atau membantu kepentingan agama, seperti membangun madrasah atau masjid. Juga disebut kikir orang yang tidak mau mengeluarkan biaya atau uangnya untuk menjaga kesehatannya sehingga sakit-sakitan.

Hadits di atas menceritakan kasus seorang suami kikir yang menyebabkan istrinya mengalami kekurangan belanja untuk kepentingan diri dan anak-anaknya. Ia terpaksa mengambil uang suami tanpa sepengetahuannya. Tindakannya menyebabkan dirinya merasa berdosa, lalu datang kepada Rasulullah saw mengadukan keadaan dirinya itu. Oleh Rasulullah saw dijawab bahwa tindakannya yang terpaksa mengambil uang suami tanpa sepengatahuannya untuk belanja diri dan anak-anaknya tidak berdosa selagi sekedar untuk memenuhi kebutuhannya secara layak.

14. Tidak Lemah Syahwat

Disebutkan dalam Hadits berikut:

‘Umar bin Khattab berkata tentang suami yang lemah syahwat: ” Dia diberi tempo satu tahun. Jika dapat sembuh, (perkawinannya bisa diteruskan); dan jika tidak, mereka boleh diceraikan dan istrinya mendapatkan mahar dan harus ber’iddah.”
(H.R. Baihaqi)

Penjelasan :

Lemah syahwat ialah ketidakmampuan seorang laki-laki untuk memenuhi kebutuhan biologis istri. Memenuhi kebutuhan biologis hanyalah dibenarkan melalui perkawinan. Maksud hadits di atas ialah istri yang memiliki suami yang mengidap lemah syahwat berhak mengajukan perceraian jika penyakit suaminya tidak bisa disembuhkan.

Seorang suami berkewajiban memenuhi kebutuhan biologis istrinya, karenanya dia harus kuat syahwat. Tanpa memiliki kekuatan syahwat, tuntutan biologis istri tidak akan dapat terpenuhi. Hal ini menjadi perhatian dalam syariat Islam karena dalam perkawinan ada keharusan untuk saling memenuhi tuntutan biologis merupakan salah satu faktor terciptanya suasana bahagia suami istri.

Bagi seorang suami, karena adanya kesempatan untuk berpoligami, terjadinya kelemahan syahwat pada istrinya dapat dikompensasi dengan mengambil perempuan lain sebagai istri barunya. Akan tetapi, bagi seorang perempuan muslim, hal semacam ini tidak bisa dilakukan. Pilihan yang bisa diambil ialah menerima keadaan suami atau bercerai. Untuk itulah, perlu sekali adanya pemilihan selektif terhadap laki-laki yang hendak menjadi suaminya.

Karena dalam perkawinan kebutuhan seksual atau biologis merupakan hal mutlak, baik bagi suami maupun istri, para perempuan muslim tidak boleh merasa malu untuk menyelidiki dan mengetahui keadaan syahwat calon suaminya. Kalau hal ini tidak diketahui secara dini, kemungkinan kelak akan terjadi masalah pada diri yang bersangkutan, sehingga boleh jadi ia akan merasa tertipu dan mengalami trauma untuk bersuami. Supaya tidak terjadi akibat buruk semacam ini, perlulah para perempuan muslim sejak awal mengetahui kondisi seksual calon suaminya. Jika ternyata ia orang yang lemah syahwat, lebih baik ia menolak lamarannya suapaya tidak merugikan dirinya.

Para perempuan muslim harus menyadari bahwa kebutuhan biologis bukan semata-mata untuk dirinya, melainkan juga untuk mendapatkan keturunan, sebab perkawinan disyari’atkan oleh Islam terutama bertujuan untuk menjadi sarana pengembangbiakan jenis manusia secara halal di muka bumi. Hal ini hanya bisa dilakukan bilamana suami dapat melakukan fungsi biologisnya kepada istrinya dengan baik. Oleh karena itu, pilihlah suami yang tidak lemah syahwat.

15. Senang Berketurunan dan Subur

Disebutkan dalam Hadits berikut:

“Kawinlah kalian, karena aku akan membanggakan banyaknya jumlah kalian kepada umat-umat lain; dan janganlah kalian seperti pendeta-pendeta Nasrani.”
(H.R. Baihaqi)

Penjelasan :

Hadits di atas berisikan anjuran kepada para laki-laki supaya menjauhi hidup membujang dan menyukai hidup berumah tangga dengan banyak keturunan.

Laki-laki yang sehat adalah laki-laki yang senang hidup beristri. Laki-laki yang membujang adalah laki-laki yang tidak memiliki tanggung jawab untuk menjaga kelestarian eksistensi manusia di permukaan bumi.

Manusia mempunyai tanggung jawab untuk memperbanyak keturunan dengan melakukan perkawinan sesuai yang digariskan Allah. Dengan cara semacam ini asal-usul nasab seseorang akan menjadi jelas sehingga dapat terbentuk ikatan keluarga dalam kehidupan manusia di muka bumi ini.

Untuk memenuhi fungsi pengembangbiakan manusia di muka bumi ini, kaum perempuan perlu memilih suami dari laki-laki yang benar-benar suka mempunyai keturunan. Laki-laki yang suka mempunyai keturunan memiliki rasa tanggung jawab bessar terhadap anak-anaknya. Tanpa keinginan kuat untuk berketurunan, laki-laki hanya akan memperlakukan perempuan sebagai obyek seksual dan kepuasan syahwat semata. Hal semacam ini tentu akan merugikan eksistensi manusia di muka bumi.

* Diolah dari http://muslimcreative.wordpress.com/2008/05/20/15-petunjuk-memilih-suami/ *

3 comments:

Unknown mengatakan...

mupeeenggg...

Alex mengatakan...

mohon petunjuk...

IK mengatakan...

hadududududu .. petunjuk nya kan sudah jelas disitu ... ada 15 ...
tinggal mencari yang lulus fit and proper test nya saja :D

Posting Komentar

ShareThis

Related Posts with Thumbnails