The Marvellous World of Belahan Jiwa

Selasa, 16 September 2008



Bagaimana kita tahu bahwa cinta kita cukup dalam untuk menghantar kita ke arah berdampingan seumur hidup, menuju kepada kesetiaan yang sempurna?
Bagaimana kita dapat yakin bahwa cinta kita ini cukup matang untuk diikat sumpah nikah serta janji untuk berdampingan seumur hidup sampai maut memisahkan?

Pertama, Ujian untuk merasakan sesuatu bersama

Cinta sejati ingin merasakan bersama, memberi, mengulurkan tangan.
Cinta sejati memikirkan pihak yang lainnya, bukan memikirkan diri sendiri.
Jika kalian membaca sesuatu, pernahkah kalian berpikir, aku ingin membagi ini bersama sahabatku?
Jika kalian merencanakan sesuatu,adakah kalian hanya berpikir tentang apa yang ingin kalian lakukan, ataukah apa yang akan menyenangkan pihak lain?

Sebagaimana Herman Oeser, seorang penulis Jerman pernah mengatakan, "Mereka yang ingin bahagia sendiri,janganlah kawin. Karena yang penting dalam perkawinan ialah membuat pihak yang lain bahagia.
Mereka yang ingin dimengerti pihak yang lain, janganlah kawin. Karena yang penting di sini ialah mengerti pasangannya.

Maka batu ujian yang pertama ialah:
"Apakah kita bisa sama-sama merasakan sesuatu?
Apakah aku ingin menjadi bahagia atau membuat pihak yang lain bahagia?"

Kedua, Ujian kekuatan

Saya pernah menerima surat dari seorang yang jatuh cinta, tapi sedang risau hatinya. Dia pernah membaca entah di mana, bahwa berat badan seseorang akan berkurang kalau orang itu betul-betul jatuh cinta.
Meskipun dia sendiri mencurahkan segala perasaan cintanya, dia tidak kehilangan berat badannya dan inilah yang merisaukan hatinya.
Memang benar, bahwa pengalaman cinta itu juga bisa mempengaruhi keadaan jasmani. Tapi dalam jangka panjang cinta sejati tidak akan menghilangkan kekuatan kalian; bahkan sebaliknya akan memberikan kekuatan dan tenaga baru pada kalian. Cinta akan
memenuhi kalian dengan kegembiraan serta membuat kalian kreatif, dan ingin menghasilkan lebih banyak lagi.

Batu ujian kedua:
"Apakah cinta kita memberi kekuatan baru dan memenuhi kita dengan tenaga kreatif, ataukah cinta kita justru menghilangkan kekuatan dan tenaga kita?"

Ketiga, Ujian penghargaan

Cinta sejati berarti juga menjunjung tinggi pihak yang lain.
Seorang gadis mungkin mengagumi seorang jejaka, ketika ia melihatnya bermain bola dan
mencetak banyak gol. Tapi jika ia bertanya pada diri sendiri, "Apakah aku mengingini dia sebagai ayah dari anak-anakku? ", jawabnya sering sekali menjadi negatif. Seorang pemuda mungkin mengagumi seorang gadis, yang dilihatnya sedang berdansa. Tapi sewaktu ia bertanya pada diri sendiri, "Apakah aku mengingini dia sebagai ibu dari anak-anakku?", gadis tadi mungkin akan berubah dalam pandangannya.

Pertanyaannya ialah: "Apakah kita benar-benar sudah punya penghargaan yang tinggi satu kepada yang lainnya? Apa aku bangga atas pasanganku?"

Keempat, Ujian kebiasaan

Pada suatu hari seorang gadis Eropa yang sudah bertunangan datang pada saya.
Dia sangat risau, "Aku sangat mencintai tunanganku," katanya, "tapi aku tak tahan caranya dia makan apel."
Gelak tawa penuh pengertian memenuhi ruangan.

"Cinta menerima orang lain bersama dengan kebiasaannya. Jangan kawin berdasarkan paham cicilan, lalu mengira bahwa kebiasaan-kebiasaan itu akan berubah di kemudian hari. Kemungkinan besar itu takkan terjadi. Kalian harus menerima pasanganmu
sebagaimana adanya beserta segala kebiasaan dan kekurangannya."

Pertanyaannya: "Apakah kita hanya saling mencintai atau juga saling menyukai?"

Kelima, Ujian pertengkaran

Bilamana sepasang muda mudi datang mengatakan ingin menikah, saya selalu menanyakan mereka, apakah mereka pernah sesekali benar-benar bertengkar - tidak hanya berupa perbedaan pendapat yang kecil, tetapi benar-benar bagaikan berperang. Seringkali mereka menjawab, "Ah, belum pernah, pak, kami saling mencintai."
Saya katakan kepada mereka,"Bertengkarlah dahulu - barulah akan kunikahkan kalian."

Persoalannya tentulah, bukan pertengkarannya, tapi kesanggupan untuk saling berdamai lagi. Kemampuan ini mesti dilatih dan diuji sebelum kawin. Bukan seks, tapi batu ujian pertengkaranlah yang merupakan pengalaman yang "dibutuhkan" sebelum kawin.

Pertanyaannya: "Bisakah kita saling memaafkan dan saling mengalah?"

Keenam, Ujian waktu

Sepasang muda mudi datang kepada saya untuk dinikahkan.
"Sudah berapa lama kalian saling mencintai?" tanya saya.
"Sudah tiga, hampir empat minggu," jawab mereka. Ini terlalu singkat. Menurut saya minimum satu tahun bolehlah. Dua tahun lebih baik lagi. Ada baiknya untuk saling
bertemu, bukan saja pada hari-hari libur atau hari minggu dengan berpakaian rapih, tapi juga pada saat bekerja di dalam hidup sehari-hari, waktu belum rapi, atau cukur, masih mengenakan kaos oblong, belum cuci muka, rambut masih awut-awutan, dalam suasana yang tegang atau berbahaya.

Ada suatu peribahasa kuno, "Jangan kawin sebelum mengalami musim panas dan musim dingin bersama dengan pasanganmu."
Sekiranya kalian ragu-ragu tentang perasaan cintamu, sang waktu akan memberi kepastian.

Tanyakan: "Apakah cinta kita telah melewati musim panas dan musim dingin? Sudah cukup
lamakah kita saling mengenal?"


* taken from "Nothing Last Forever" by Walter Trobish *

0 comments:

Posting Komentar

ShareThis

Related Posts with Thumbnails