The Marvellous World of Belahan Jiwa

Selasa, 30 Juni 2009


Gambaran perempuan tentang lelaki yang seksi itu memang macam-macam. Ada yang bilang pria seksi itu yang otaknya encer. Ada lagi yang menganggap pria itu baru bisa disebut seksi kalau bisa kulitnya putih, tubuhnya langsing, dan pantatnya penuh.

Seorang kawan, tentu saja perempuan, punya pendapat lain. Dia bilang lelaki yang seksi itu yang, “Tatapannya bisa membuat pedhot [putus] tali kutang.”

Halah. Saya ngakak mendengar komentarnya yang lucu bin wagu itu. Maklum saja, Ki Sanak. Teman saya itu memang mengaku rada ndesit karena berasal dari Semin, sebuah desa kecil di Gunung Kidul sana. [Ups, bakal ada yang protes nih]

Tapi, dia ngamuk ketika saya ngakak begitu mendengar istilahnya yang ajaib dan ndak umum itu.

“Sik, Mas. Sampean kok malah ngguyu. Ndak terima aku,” begitu katanya.

“Lah gimana ndak ngakak. Istilahmu itu lo, Nduk. Very genuine. Aku baru denger.”

“Yah, orang kan punya seribu cara dalam mengungkap perasaan dan deskripsi akan apa yang mereka rasakan, Mas. Jangan dikira cuma pria yang bisa menggambarkan keseksian wanita yang diincarnya.”

Saya mesem. Teman saya itu melanjutkan penjelasannya.

Menurut dia, perempuan pun bisa melakukan hal sama ketika menggambarkan lelaki idamannya, misalnya dengan memakai idiom bra alias BH untuk menggambarkan betapa pria itu “hmm…” di mata mereka”.

Nah, menurut teman saya itu, ada lelaki yang tatapannya bisa membuat wanita tanpa sadar jadi ingin seksi di mata sang lelaki … dan tanpa sadar, membuat lingkar dada mereka bertambah karena tatapan pria ini. “Itu yang membuat pedot tali BH.”

Saya manggut-manggut sambil mesem, lalu bertanya. “Ngomong-omong, kenapa sih, tiba-tiba sampean ngomongin lelaki yang tatapannya bisa bikin pedot tali BeHa, Nduk?”

“Wah, ceritanya panjang, Mas,” jawabnya.

“Aku punya waktu banyak kok,” jawab saya tak mau kalah.

“Bener nih, mau denger?”

Saya mengangguk.

Teman saya menyerah, lantas berceritalah dia. Syahdan teman-teman perempuan di kos-kosannya [jumlahnya kira-kira 10-an] sedang berebut perhatian dari seorang lelaki yang disebutnya “cakep dan menggemaskan.”

Sayangnya, ketika roda kompetisi sedang berputar dengan kencangnya, tiba-tiba ada seorang perempuan yang nyelonong di tengah jalan dengan cara-cara yang menurut dia dan kawan-kawan kosnya “sangat menyebalkan.”

“Sik, sik … diakah lelaki yang tatapannya bikin pedot tali BH itu?” saya menyela.

“Iyo, Mas.”

“Lalu?”

Teman-teman satu kosnya sebetulnya oke-oke saja seandainya perempuan “menyebalkan” itu mau bersaing dengan sehat. Dan menghargai para pesaing lainnya sebagai sesama perempuan. Haiyah.

Kenyataannya, menurut teman saya itu, perempuan itu sangat ndak mutu. Manja banget dan suka sewenang-wenang.

“Manja dan sewenang-wenang? Maksud lo?” tanya saya.

“Dia itu juga ndak punya pendirian, Mas. Maunya si lelaki itu yang meladeni dia. Mau makan minta disuapin. Kalau jajan di warung, dia nunggu lelaki itu yang memesan menunya. Huh, manja banget. Terus kalau kita pergi ramai-ramai, dia minta dijemput dan diantar pulang. Padahal kan rumahnya jauh banget, lebih jauh dari tempat kos kami,” kata si genduk teman saya itu dengan menggebu-gebu.

“Lah tapi sewenang-wenangnya di mana to?” saya menyela lagi.

“Contohnya gini, Mas. Waktu kita makan bareng di Warung Ginuk itu, perempuan itu maunya duduk deket lelaki itu. Ketika ada temenku yang lebih dulu duduk di dekatnya, eh dia diusir. Apa ndak semena-mena tuh, Mas?”

“Haiyah, dasar cah kos-kosan,” komentar saya dengan maksud meledek dia.

Tapi, begitu dikatain anak kos-kosan, teman saya itu ngamuk lagi. “Eits, jangan sembarangan, Mas. Biar anak kos-kosan, kamu punya harga diri loh. Ndak sudi bersaing dengan cara-cara yang menyebalkan seperti itu.”

Weleh, weleh … Segitu seriusnya.

“Memang serius iki, Mas. Dan, cilokonya, Mas, lelaki itu kok malah jadi seperti tak berdaya kalau perempuan itu sudah bersabda. Dia manut aja disuruh apa saja. Kan kami yang jadi sebel.

Apalagi sejak ketemu perempuan itu, si lelaki itu jadi males ngapa-ngapain. Kami ajak jalan bareng-bareng, dia ogah. Kami ajak nonton rame-rame, ada saja alasannya untuk menolak. Huh, menyebalkan!”

“Ya wes, njuk maunya kowe piye, Nduk?”

“Maunya kami tuh ya mbok lelaki dengan tatapan maut itu sadar bahwa perempuan itu katrok, Mas. Tapi, jangankan sadar, lah wong lelaki itu malah thukmis je.”

“Thukmis? Apa lagi tuh?”

“Masih tepe-tepe, Mas. Tebar pesona. Dengan pandangan yang seolah-olah stay calm itu dia tetep lirik sana lirik sini. Bikin gemes!”

Saya ngakak lagi. “Kok bikin gemes sih?”

“Lah iyo, Mas. Kami tuh pengen dia itu sadar. Meski bisa bikin tali beha pedhot kabeh, jangan deh tebar pesona ke semua cewek. Terus, kalau punya wajah ganteng, jangan sok dong … kehadiran sebagai teman tetap diinginkan.”

Ck … ck … ck … Oalah, jadi ceritanya curhat ki, Nduk?

“Lah iyo, Mas. Iki curhat. Mosok mau ngajak medotin tali BH?”

Hahaha … Asyem!

*source: http://ndorokakung.com/2007/10/20/kutang-pecas-ndahe-2/*

0 comments:

Posting Komentar

ShareThis

Related Posts with Thumbnails